Rabu, 30 April 2008

PENTINGNYA PENGETAHUAN HUKUM BAGI PEREMPUAN DAN ANAK

” IEDEREN WORDT GEACHT DE WET TE KENNEN “
oleh:
Erma Hari Alijana, SH (Kadept Bangwil PW Salimah DKI)
Hj. Meilani Anwar, SKM (Kadept Humas & Jaringan Lembaga PW Salimah DKI)

Artikel ini dimuat juga di majalah Tatsqif edisi Mei 2008


Setiap orang dianggap mengetahui undang-undang atau perundangan (adigum). Begitulah arti kalimat tersebut yang merupakan suatu azas yang berlaku umum dimana saja. Termasuk merupakan suatu ketentuan bagi sebuah Negara yang mengikuti aturan hukum. Seperti Negara tercinta ini. Artinya, apabila sebuah Undang-undang telah diundangkan atau dikeluarkan, maka undang-undang tersebut dianggap telah diketahui dan berlaku bagi setiap warga negara.

Setiap warga negara baik anak kecil maupun orang dewasa, buta huruf ataukah melek huruf, berkenan atau tidak, memenuhi rasa keadilan atau tidak, pendek kata berlaku untuk seluruh masyarakat, tunduk, patuh pada aturan yang telah ada. Apa yang diatur dalam undang-undang sesuatu yang harus dituruti dan dilaksanakan. Apabila tidak dilaksanakan, akan merupkan pelanggaran hukum yang tentunya akan mendapatkan sanksi. Itulah salah satu keistimewaan dari sebuah perundangan. Namun pertanyaannya adalah, apakah benar seluruh masyarakat Indonesia sudah melek hukum? Sudah mengetahui undang-undang apa saja yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah? Berapa banyak masyarakat kita yang tahu akan isyu trafficking? Kekerasan Dalam Rumah Tangga? Atau banyak kasus lain yang seringkali perempuan dan anak-anaklah yang menjadi korban.

Mari coba kita lihat sebuah kasus yang lazim kita dengar dari media elektronik maupun media massa lainnya. Sebuah kisah tentang nasib seorang perempuan disebuah pedesaan yang damai asri ranah kampungnya dengan adat budaya yang santun. Imah, perempuan muda ( 16 tahun) yang harusnya mempunyai kesempatan untuk mendapat perlindungan dan haknya sebagai seorang anak dari orang tuanya, telah dipaksa menjalani hidup rumah tangga. Dengan anggapan, bahwa anak yang berusia seperti dirinya harus rela meninggalkan masa kanak-kanak di era globalisasi saat ini, untuk sebuah faktor ekonomi. Dapat diduga, yang terjadi adalah sebuah perkawinan singkat bersifat ekonomis.

Dalam keadaan seperti inilah Imah harus berjuang menghidupi anak satu-satunya yang masih balita dengan gizi seadanya . Dengan pengetahuan yang terbatas, terpaksa Imah menjual anak kandungya dan terlibat jeratan hutang yang semakin banyak. Bayangan Imah hutang tersebut merupakan penolong yang akan menyelesaikan masalahnya. Sayangnya, hutang yang semakin menumpuk dan tidak mampu bayar itulah kesempatan bagi pelaku untuk menguasai seseorang dalam keadaan tidak berdaya seperti dirinya dan menjadikannya sasaran jitu untuk dibawa kekota atau sebuah pelabuhan untuk diperdagangkan. Sementara perempuan tersebut tidak mempunyai keahlian yang bisa menjadi solusi memperbaiki kelangsungan hidupnya. Disinilah peranan masyarakat dan instansi terkait sangat dibutuhkan tentang hak perempuan dan anak dalam situasi darurat.

Maraknya masalah perdagangan orang di Indonesia seharusnya lebih diperhatikan karena perempuan dan anak sebenarnya merupakan suatu potensi yang luar biasa bagi masa depan sebuah Negara. Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi lain, seperti kerja paksa atau pelayanan paksa, namun juga perbudakan atau praktik serupa perbudakan.

Pelaku umumnya, melakukan aksi dengan berbagai cara (perekrutan, pengangkutan, pemindahan, penyembuyian, atau penerimaan) yang tujuannya menjebak, menjerumuskan atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi. Untuk mendapatkan apa yang diinginkannya pelaku menggunakan berbagai pendekatan dari mulai cara yang halus dengan bujuk rayu hingga cara kekekerasan (ancaman, penculikan, pemalsuan, penyalah gunaan kekerasan atau posisi rentan calon korban). Tidak jarang bahkan hingga memberi bayaran atau manfaat agar memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.

Bagaimana gambaran seorang Imah?
Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam kitab Undang- undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang- Undang Nomor 23 Tahun 2002. Begitu juga sudah dibuatnya secara khusus Undang-undang Republik Indonesia No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Namun, mengingat kasus tindak pidana perdagangan orang ( Human trafficking) di Indonesia sangat memprihatinkan, dan sempat dimasukan dalam daftar Negara yang mengabaikan penanganan perdagangan manusia oleh panel pemerintah Amerika, maka diperlukan juga payung hukum yang memberikan perlindungan terhadap korban dari tindak pidana tersebut.

Sebagian besar masyarakat Indonesia berdomisili di daerah pedesaan. Kalaupun di kota, tidak banyak yang tahu akan produk perundangan. Bahkan, bisa jadi produk perundangan tersebut baru sampai pada lapisan mereka yang memang bergerak dibidang hukum. Kalau begitu, bagaimana nasib seorang Imah yang sama sekali tidak mengerti langkahnya dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Adakah rasa keadilan pada dirinya dengan memberlakukan Undang-undang tersebut bagi setiap orang sementara orang itu belum pernah mendengar atau mengetahuinya?

Kewajiban kitalah, sebagai ibadah ghoiru mahdoh, bersama-sama ikut serta membantu mencerdaskan hukum kepada saudara-saudara kita. Sehingga, tidak akan menjadi korban kejahatan yang dilakukan oleh pelaku yang tidak punya rasa kemanusiaan dan hati nurani terutama kepada perempuan dan anak-anak.

Allahu ’Alam...

Tidak ada komentar: