Senin, 29 Desember 2008

Kemerdekaan bagi Perempuan

Merdeka perempuan Indonesia!

Zuhriyah
Dept. Dakwah dan Pendidikan
PW SALIMAH DKI Jakarta

Tulisan ini dapat dijumpai di Rubrik Tarbiyah Muslimah Majalah Tatsqif, diunggah ke dalam blog ini semata agar tidak hilang ditelan usia

Kemerdekaan adalah hak dan tujuan yang ingin dicapai setiap makhluk di dunia ini. Dalam perspektif Islam kemerdekaan disebut dengan istilah Al-hurriyah. Ketika diutus ke negri Persia Rib’i bin Amir menjelaskan maksud kedatangannya dihadapan panglima Rustum dan mengatakan: “Kami diutus untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama manusia menuju penghambaan hanya kepada Rabb manusia, dari kezaliman agama-agama kepada keadilan Islam, dan dari sempitnya dunia menuju luasnya dunia dan akhirat. Itulah misi kemerdekaan yang diperjuangkan oleh Islam agar dapat dinikmati oleh semua makhluk. Kemerdekaan, khususnya bagi perempuan berarti jaminan hak-hak terutama pada persoalan krusial seperti berikut:

1. Hak menjaga keimanan dan nilai fitrahnya.
Tidak ada yang berhak melarang seorang perempuan memenuhi panggilan fitrahnya, bahkan seorang budak yang bisa diperjualbelikan sekehendak majikannyapun dilindungi haknya oleh Islam. Seperti kisah Masikah, budak Abdulah Bin Ubai bin Salul yang akhirnya masuk Islam hinggga ketika laki-laki Yahudi itu menyuruhnya berzina agar mendapat upah, budak wanita yang telah mendapatkan kemerdekaan dalam dirinya itu menolak perintah majikannya dan lebih memilih Allah, dan turunlah ayat yang menjamin haknya untuk menjaga kesuciannya. (QS.An-Nur:33).
Perempuan mendapat kedudukan yang sama dengan pria dihadapan syariat Allah SWT, hingga nilai keimanan perempuan tidak ditentukan oleh laki-laki disekelilingnya; baik ayah, suami ataupun laki-laki yang menjadi kuasanya. Tidak ada istilah Suargo nunut neroko katut yang bisa diartikan dengan kebahagiaan dan kesengsaraan perempuan ditentukan oleh suaminya. Romlah putri Abu Sufyan misalnya, ayahnya pemuka musyrikin dan suaminyapun murtad tapi ia lebih memilih Allah SWT dan menjadi pribadi yang merdeka.

2. Hak berpendapat.
Kebebasan yang diberikan Islam melahirkan perempuan yang kritis dan berani menyuarakan kebenaran tanpa harus malu dan takut. Rasulullah SAW minta pendapat istrinya ketika para sahabat tidak merespon perintahnya pada peristiwa Hudaibiyah. Ummu Salamah dengan kecerdasannya mengetahui psikologi para sahabat dan menawarkan solusi bijak, dan akhirnya selesailah presoalan tersebut dengan mudah. Atau seperti yang dicontohkan seorang perempuan yang menolak keputusan Umar Bin Khottob r.a tentang pembatasan mahar seorang wanita, karena dalam Al-Quran tidak ditentukan batasan jumlah mahar yang berhak diterima perempuan ketika menikah. Pendapat perempuan itulah yang akhirnya menjadi keputusan Umar.

3.Hak menuntut ilmu dan aktualisasi diri.
Kebabasan Islam untuk menuntut ilmu bagi perempuan telah melahirkan figur publik dalam berbagai bidang dan spesialisasi keilmuan seperti Aisyah r.a yang menjadi rujukan para sahabat dalam ilmu tafsir, hadits, sejarah dan silsilah Arab serta sastra. Atau Umu Sulaim, seorang perempuan Anshor yang datang kepada Rosulullah SAW dan bertanya apakah perempuan wajib mandi jika ia bermimpi. Ada juga perempuan lain yang datang dan bertanya pada Rosulullah SAW tata cara mandi jinabah, suatu hal yang dianggap tabu apalagi ditanyakan pada seorang laki-laki, hingga Aisyah kagum atas keberanian mereka dan berkata: “Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshor, rasa malu tidak menghalangi mereka untuk bertanya dan memperdalam masalah agama”.

4. Hak memiliki dan mengelola harta.
Islam menjamin harta dan kepemilikan pribadi serta menyerahkan pengelolaannya sepenuhnya pada perempuan. Baik itu harta yang berupa mahar, warisan maupun harta lain yang dimiliki seorang istri dengan cara yang dibenarkan Islam. Apabila seorang istri membantu keuangan suaminya, maka itu terhitung sebagai sedekah yang pahalanya dilipatgandakan, karena nafkah adalah kewajiban suami. Begitulah yang terjadi pada istri Abdullah bin mas’ud r.a. Dan Rosulullah SAW juga pernah mendapat pengaduan dari wanita-wanita yang menuntut bagian warisannya karena kerabat laki-lakinya telah mengambil semuanya, mereka akhirnya mendapat hak tersebut karena Islam menjamin hak perempuan atas harta yang ditinggalkan ayah, suami, anak, maupun saudara, pada saat masyarakat menganggap perempuan tidak layak menerimanya (QS.An-Nisa:11-12)

5. Hak mendapat perlakuan seimbang di hadapan hukum.
Bila seorang perempuan mendapat perlakuan tak pantas dari laki-laki Ia berhak mendapat perlindungan dan pembelaan. Suatu hari ada seorang gadis mengadu pada Rasulullah SAW karena dipaksa menikah dengan sepupunya demi mengangkat status keluarganya. Rosul melarang hal itu dan menyerahkan keputusan kapada gadis tersebut dan bukan pada ayahnya. Al Qur’an juga mengabadikan penentangan pada seorang laki-laki yang menghalangi adik perempuannya kembali pada mantan suaminya dan menjamin hak perempuan tersebut untuk menentukan pilihannya (QS.Al-Baqoroh: 232). Bahkan Allah SWT langsung merespon ketika Khaulah binti Tsa’labah mengadukan perlakuan yang tak layak dari suaminya, Aus bin Shomit dan mengabadikan kisahnya sebagai hukum yang harus ditaati oleh manusia.

Islam telah mendeklarasikan prinsip kebebasan. Setiap orang, baik laki-laki maupun permpuan bebas mengoptimalkan daya fikir, berkarya dan berkontribusi, serta menapaki tangga menuju puncak keberhasilan secara materi maupun maknawi. Tapi yang dimaksud bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas. Kebebasan itu terikat dengan kebebasan orang lain, karena manusia hidup bersama di bumi ini hingga setiap orang hendaknya mentaati aturan agar tercipta kehidupan yang harmoni. Dan Islam telah menetapkan rambu-rambu dalam mengekspresikan kebebasan itu diantaranya dalam kaedah: “yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas”. Yang halal adalah yang bermanfaat bagi pribadi maupun masyarakat, dan yang haram adalah yang berdampak mudharat dan keburukan, baik dalam skala personal maupun kemanusiaan secara keseluruhan. Termasuk perempuan, meski Islam telah menjamin kebebasannya, tidak dibenarkan berekspresi dan berbuat sekehendahnya. Jadi ketika tindakannya berdampak buruk bagi diri, keluarga, maupun masyarakat umum, saat itulah ia telah berbuat zalim dan harus dicegah dan dihentikan.

Dengan persepsi seperti ini, kita tahu bahwa masih banyak perempuan kita belum mencapai hakekat kemerdekaannya. Belum semua perempuan memahami hak dan kewajibannya, baik sebagai pribadi, maupun anggota sebuah komunitas, keluarga atau kelompok masyarakat dan bangsa.

Diantara mereka ada yang hingga kini masih terkekang oleh persepsi tentang ketaatan pada suami dan penentu kebijakan yang tidak pada tempatnya, hingga perempuan tak berani menyuarakan pendapatnya atau mendapat perlakuan yang tidak semestinya dari lingkungan sekitar mereka. Juga masih belum hilangnya anggapan bahwa habitat perempuan terbatas hanya daerah dapur, sumur dan kasur, hingga menuntut ilmu sekedarnya saja, atau persepsi lain tentang wanita yang tidak selaras dengan prinsip Islam dan akibatnya menenggelamkan bakat dan potensi perempuan.

Di lain sisi banyak perempuan salah kaprah memahami prinsip kebebasan. Nilai-nilai yang menyinggung perempuan seperti kewajiban perempuan dalam institusi keluarga dianggap mengekang kebebasan mereka hingga harus dilawan, mereka juga menuntut persamaan mutlak dengan pria. Tapi sayangnya yang kemudian kita dapati adalah perempuan-perempuan yang mudah menyerahkan harga diri demi modernitas, materi dan popularitas. Kemerdekaan seperti apa yang diinginkan ketika mereka tak berdaya menolak ikon, tren, dan peran yang sebenarnya bertentangan dengan nilai fitrahnya? Sejatinya mereka telah terperangkap dalam kejahatan yang memperalat dan memperbudak perempuan secara legal dan sistematis. Itulah penjajahan modern yang mengibarkan bendera kebebasan berekspresi, emansipasi, dan masih banyak lagi isu yang menyilaukan dan membuat mereka terbuai, yang pada hakekatnya adalah perang terhadap kesucian perempuan, institusi keluarga, tatanan masyarakat yang luhur dan pemaksaan prinsip amoral seperti homoseksual, lesbianisme, free sex, aborsi, pornografi, pornoaksi, dan kebebasan tanpa batas. Perempuan tak berdaya dihadapan para tirani baru; penentu kebijakan dan pemilik modal yang ingin mengeruk keuntungan dengan memperalat perempuan. Akibatnya kejahatan bermunculan di masyarakat membuat syaraf manusia lama-lama kebal dan terbiasa karena sering melihatnya. Semua itu akibat dari rusaknya perempuan, eksistensi keluarga dan moral masyarakat yang notabene adalah benteng ketahanan bangsa ini.

Maka untuk mewujudkan kemerdekaan perempuan dalam arti yang sesungguhnya, mereka harus mendobrak belenggu baik berupa tradisi kuno yang membatasi ruang geraknya, maupun pemikiran modern yang merendahkan eksistensi dan harkatnya, dan kembali pada prinsip Islam karena tidak ada sistim lain di dunia yang pernah membuktikan penghargaannya pada perempuan melebihi Islam.

Ketahanan bangsa ini sangat ditentukan oleh kwalitas perempuannya, karena komposisi maupun fungsi dan peran mereka, maka perempuan bukan lagi persoalan kelas dua. Semua pihak hendaknya berperan dalam upaya melahirkan perempuan-perempuan yang terbebas dari penjajahan manusia, pemikiran, maupun hawa nafsunya sendiri. Perempuan perkasa yang cerdas, berdedikasi dan mandiri tanpa harus kehilangan jati dirinya sebagai perempuan Indonesia yang bermartabat.

Tidak ada komentar: